Orangtua mana yang tak senang melihat buah hati yang dinantikan
sembilan bulan lamanya, tumbuh sempurna.Tak hanya asupan nutrisi, pola
asuh yang baik turut menentukan perkembangan fisik dan mentalnya di
kemudian hari.ASAH, asih, asuh. Para ibu mungkin familier dengan
istilah ini. Namun, apakah Ibu yakin sudah menerapkannya kepada
putra-putri Ibu? Cinta dan kasih sayang disebut juga dengan asih;
berbagai stimulasi yang ibu berikan dikategorikan sebagai asah;
sedangkan pemenuhan kebutuhan dasar pangan, sandang, papan, dan
kesehatan merupakan bagian dari asuh.
Setiap anak membutuhkan cinta, perhatian dan kasih sayang yang akan
berdampak terhadap perkembangan fisik, mental, dan emosionalnya. ”Kasih
sayang dari kedua orangtuanya ini merupakan fondasi kehidupan bagi si
anak dan menjadi modal utama rasa aman,terlebih ketika dia mengeksplor
dunianya,” kata spesialis anak dari Yayasan Orangtua Peduli dr
Purnamawati S Pujiarto Sp A(K).
Orangtua bisa mengungkapkan rasa cinta kasih melalui pelukan,
sentuhan, belaian, senyuman, dukungan,mendengar keluh kesah dan
celotehnya, serta meluangkan waktu bermain dengan si kecil. ”Bahkan,
selama 6 bulan pertama, respons segera ketika bayi menangis, sangat
besar artinya bagi perkembangan kepribadian dan emosionalnya,”ungkapnya.
Untuk menunjang tumbuh kembang dan proses belajar, anak harus
terpenuhi kebutuhan dasarnya (asuh). Bawa bayi ke posyandu secara
teratur untuk diperiksa kesehatannya dan dipantau tumbuh kembangnya.
Lindungi mereka dengan imunisasi tepat waktu dan berikan ASI selama
enam bulan. Pemberian stimulasi seperti berbicara, berkomunikasi, dan
membaca juga tak kalah penting.
Beri stimulasi pada semua indra anak dan ajaklah bayi berbicara
sesering mungkin,seperti ketika mengganti popok, menyusui dan
memandikan sehingga otaknya senantiasa aktif. Penelitian membuktikan,
anak yang kerap diajak bicara dan berkomunikasi secara intensif akan
memiliki IQ lebih tinggi dan perbendaharaan kata yang lebih kaya.
”Stimulasi tidak harus mahal atau dalam bentuk sekolah. Daily life
adalah sekolah yang ”sesungguhnya” di rumah. Misalkan saat ada kucing
berkejaran,ibu berseru di depan anak: ’Lihat, ada kucing kejar-kejaran!
Kenapa ya? Oh ternyata sedang rebutan makanan’,” sebut Purnamawati,
mencontohkan.
Ketika anak ingin bermain, berikan mainan atau objek dari berbagai
jenis, bentuk, warna, bunyi, tekstur, dan berat. Kegiatan interaktif
seperti bermain ciluk ba, jalan-jalan keliling kompleks, bernyanyi,
belanja, dan menyiram bunga bersama merupakan upaya stimulasi yang
sangat baik. Selain itu, membaca juga penting untuk membentuk
perbendaharaan kata, menstimulasi imajinasi, dan meningkatkan kemampuan
bahasa si anak.
”Stimulasi hendaknya disesuaikan perkembangan usia. Ketika anak
mulai belajar merangkak misalnya, jangan terlalu banyak dilarang sebab
mereka juga butuh ruang untuk mengembangkan kekuatan ototnya,
merangkak, merambat, dan berjalan. Kalau serbadilarang akibatnya dia
menjadi anak yang tidak berani mencoba,” tuturnya. Contoh lainnya
adalah ketika anak ingin membuka suatu kotak, tapi tampak kesulitan
sering kali ibu tergerak ingin membantu.Jangan lakukan dan biarkan anak
mencoba sendiri.
Kalau masih kesulitan,perlihatkan bagaimana cara membuka kotak itu
lalu kembalikan kotak dalam keadaan tertutup agar anak bisa membukanya
sendiri. Hal ini dapat melatih kemampuannya dalam berpikir dan
menyelesaikan masalah. Ketiga unsur (asah, asih, dan asuh) yang
dipaparkan di atas mungkin memiliki definisi dan kategori berbeda.
Namun, dalam praktiknya ketiga unsur tersebut tidak berjalan
sendirisendiri tapi saling berhubungan.
”Dalam pola pengasuhan, asah, asih, dan asuh itu saling terkait.
Ketika menstimulasi, kita juga memberikan kasih sayang. Jadi, ketiganya
ada dalam satu paket,” tandas Purnamawati. Sementara itu, psikolog dari
Lembaga Psikologi Terapan UI Erfianne Cicilia Psi mengungkapkan, pola
asuh orangtua juga tidak lepas dari pola asuh lingkungan, seperti
pengasuh, kakek-nenek, dan saudara terdekat. Hal ini juga akan
memengaruhi pembentukan karakter si anak.
Karakter setiap anak sebetulnya terbentuk sesuai genetik orangtuanya
dan bersifat menetap sehingga harus diterima apa adanya. ”Perubahan
karakter anak pada dasarnya bukan ’berubah’,melainkan ’melemah’ atau
’menguat’. Dalam hal ini lingkungan dan pola asuh orangtua memegang
peranan penting. Karenanya, terapkan pola asuh sesuai karakter anak,
berikan stimulasi, dan jadilah sahabat bagi anak,”ujarnya.
Kebiasaan yang Diturunkan
KULTUR dan latar belakang orangtua turut berpengaruh pada pola asuh
yang diterapkan dalam keluarga. Orangtua juga perlu berhati-hati, sebab
segala tindak tanduk dan perilakunya bisa dicontoh oleh si anak.
Artinya, pola asuh sifatnya bisa menurun (intergenerational
transmission).
”Kalau kita biasa diasuh dengan kehalusan, diajak ngomong dan diberi
pemahaman secara baik-baik pasti akan menurun pada anak kita.
Sebaliknya, kalau orangtua sudah terbiasa dengan kekerasan seperti main
tampar, cubit dan pecut tanpa sadar anak juga akan berbuat seperti
itu,” kata psikiater dari Klinik Mutiara Hatiku Ika Widyawati MD. Dia
mencontohkan,ada anak yang bercerita pada neneknya bahwa ayahnya suka
memukul, lalu si anak berkata, ’Kapankapan aku ingin memukul ayah kalau
dia lagi tidur’.”Itu adalah suatu bentuk dendam dan seharusnya tidak
terjadi, apalagi kalau dendamnya terbawa sampai besar,”ujarnya.
Dia menambahkan bahwa pola asuh itu sifatnya prinsipiil. Jadi
sebenarnya tidak ada pola asuh yang salah, sebab pada dasarnya tidak
ada orangtua yang ingin menjerumuskan anaknya. Hanya, cara mengasuhnya
itu yang terkadang salah,misalkan dengan kekerasan.
”Dalam mendidik anak, orangtua harus tegas dan konsisten.Pastikan
tidak melakukan abusive atau kekerasan, baik secara fisik maupun
verbal, apalagi kekerasan seksual,” tegas wanita yang juga mengepalai
Infant Mental Health di FKUI/RSCM ini. Sebagai orangtua harus sadar
dalam mengajar anak karena sering kali terlalu emosi.Ada yang
mengatakan bahwa orangtua itu bukan guru yang baik bagi anaknya sendiri.
Artinya, kalau mengajar anak orang lain sampai ratusan pun masih
bisa diasuhnya, tapi saat mengajar anak sendiri kadang bisa sampai naik
darah. Kenapa demikian? Sebab,orangtua penuh harapan terhadap si anak
dan terkadang berlebihan. ”Sejak dalam kandungan, orangtua sudah punya
bayangan tentang ’the fantastic child’ dan kenyataannya sering kali
tidak sama dengan ’the real child’- nya.
Karena itu ketika anak jadi ’biang kerok’ belum apa-apa orangtua
sudah mengamuk duluan. Anak pulang membawa hasil ulangan yang jeblok,
orangtua sudah nyolot saja. Padahal, seharusnya ditanya dan diteliti
dulu kenapa si anak mendapat nilai jelek,siapa tahu dia sedang
sakit,”saran Ika. Reward positif dan konsistensi dalam mendidik juga
diperlukan, antara lain untuk mendisiplinkan dan memacu anak berbuat
lebih baik lagi.
Jadi, bukan hukuman (punishment) yang ditonjolkan,melainkan
rewardatau hadiahnya,baik berupa pujian, makanan kecil atau kue. ”Yang
penting anak dibiasakan bahwa kalau dia berusaha, maka dia akan
mendapatkan sesuatu,tapi bukan berarti kalau dia tidak bisa, dia akan
dihukum,”tandasnya.
Adu Pendapat Bukan Berantem
ARTIS Soraya Haque berpendapat bahwa pola asah asih asuh itu
sifatnya sangat psikologis dan ini diterapkan antara lain dengan
mengasah potensi anak melalui orangtua sebagai role model.
”Modelling atau percontohan itu dasar bentukannya dari rumah dan itu
adalah tugas orangtua yang paling penting, yaitu memberi contoh yang
baik,” ungkap wanita yang biasa disapa Aya ini. Dalam mengasuh ketiga
putra-putrinya, kakak kandung artis Marissa Haque ini mengatakan bahwa
prinsipnya adalah kasih sayang yang menjembatani pola pengasuhan itu.
Contoh sederhananya adalah mengajarkan anak bersahabat dengan alam
dengan tidak merusak alam dan tidak menyakiti binatang. Cara orangtua
melihat dan memandang masalah serta bagaimana mengambil keputusan juga
kerap dicontoh anak. Aya tidak mempermasalahkan ketika dirinya dan sang
suami (musisi Eki Soekarno) beradu pendapat atau berargumen di depan
anakanaknya.
”Beradu pendapat tidak berarti berantem. Ini juga sebagai bentuk
pembelajaran bagi anakanak bahwa berbeda pendapat itu adalah hal wajar.
Kadang kami juga minta pendapat mereka apa sekiranya ada yang salah?
Dan mereka pun mengemukakan pandangannya, misalkan ’mama kurang ini’
atau ’papa seharusnya gini’,” ungkap ibunda dari Valerie, Nadia dan
Dalmiro ini.
Sebagai pasangan seniman, Aya dan Eki menginginkan anak-anaknya bisa
berkecimpung atau setidaknya memiliki keterampilan di bidang seni,
antara lain bermain piano. ”Hingga mereka berusia 12 tahun peraturan
ditentukan oleh kami orangtuanya, antara lain mereka harus bisa bermain
piano. Setelah itu di atas usia 12 tahun mereka sudah bisa berpikir dan
menentukan sendiri apakah akan terus bermusik,” tutur Aya seraya
menambahkan bahwa anakanaknya juga mempelajari bela diri dengan tujuan
untuk menjaga diri maupun berkompetisi.